Makassar | Aliansi Pemantau Kinerja Aparat Negara Republik Indonesia (APKAN RI), melalui wakil ketua umum DPP APKAN RI, Ahmadi Pallaki, mempertanyakan dasar penggabungan sidang perdata dan pidana di pengadilan Negeri Makassar, terkait kasus antara Hj Mahdalena de Munnik dengan PPI Makassar.
Dimana sidang yang dijalankan terdakwa saat ini, kata Ahmadi Pallaki, ada dua persidangan sehingga sangat merepotkan dan memberatkan terdakwa baik fisik dan biaya, namun gtu tetap proaktif menjalankan sidang tersebut hingga saat ini. Oleh ya itu jika mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1956 (“Perma 1/1956”). dalam pasal 1 Perma 1/1956 tersebut dinyatakan:
“Apabila pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu.”
Jadi, apabila ada suatu perkara pidana yang harus diputuskan mengenai suatu hal perdata atau ada tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, pemeriksaan perkara pidana tersebut dapat ditangguhkan, menunggu putusan Pengadilan.
Penundaan perkara pidana tersebut di atas juga dapat didasarkan pada yurisprudensi MA, putusan No. 628 K/Pid/1984.
APKAN dalam hal ini kata Ahmadi, meminta pihak terkait untuk peka terhadap peraturan tersebut sebab jika ada pelanggaran dan cenderung dipaksakan maka hal itu akan dilaporkan ke komisi yudisial sebagai pengawas hakin saat ini.
“jika terjadi pelanggaran dan cenderung dipaksakan sidangnya maka kami akan laporkan ke pihak terkait ,” tegasnya.
Sementara itu, kuasa hukum terdakwa, Ibu Nunung biasa disapa saat ditemui mengatakan bahwa hal itu benar, ada dua sidang yang bergulir saat ini, yakni sidang pidana dengan nomor perkara….dan nomor perdata 227.
Lanjut kuasa hukum untuk sidang pidana ditetapkan pada hari rabu, sedangkan untuk perdata di hari kamis dan itu berlangsung setiap minggu.
” kami sidang dua kali seminggu yakni pidana dan perdata dengan satu obyek perkara,” tegasnya.
Khusus untuk sidang pidana telah sampai pada pemeriksaan saksi pelapor sehingga prosesnya masih panjang sedangkan untuk kasus perdata telah sampai pada putusan sela.
Terdakwa dalam hal ini HJ Mahdalena saat ditemui mengatakan sangat heran dengan adanya dua sidang yang dijalani saat ini, namu tetap kooperatif hadir setiap sidang dan bahkan lebih proaktif dari pelapor pidana itu sendiri.
” saya tetap patuh pada hukum, bahkan usahakan hadir sebelum waktu sidang ditentukan, namun para pihak sudah beberapa kali tidak hadir sehingga sidang ditunda, ” tegasnya.
Perjalanan kasus ini, kata Mahdalena sangat dilematis sebab dilaporkan pidana pengrusakan oleh PPI, sementara pihaknya juga telah dua kali melayangkan gugatan perdata terkait kepemilikan lahan yang diklaim oleh pelapor adalah milik PPI. Sedangkan legalitas yang dimiliki pelapor hanya Hak Guna Bangunan (HGB), sementara kami punyak legalitas Hak Milik sesuai surat Aigendong dan pervonding
Dan telah pula dikonversi ke badan pertanahan kota makassar sehingga mengeluarkan surat tanda daftar tanah yang asli atas nama kami.
” kita punya legalitas sertifikan belanda eigendong pervonding serta SKPT dari pertanahan Kota Makassar, ” tegasnya. (*)