Opini: Irham Tompo
Mahasiswa fakultas Hukum Universitas Handayani Makassar
METROINFONEWS.COM | MAKASSAR –Publik dikejutkan dengan pernyataan seorang Kapolrestabes yang beredar di beberapa grup WhatsApp info yang menyebutkan bahwa pelaku kejahatan pembusuran akan diperintahkan “ditembak di tempat”, bahkan jika pelakunya adalah anak di bawah umur. Pernyataan ini menimbulkan pro dan kontra, serta memicu pertanyaan mendasar: apakah kebijakan seperti ini sesuai dengan hukum, hak asasi manusia, dan prosedur kepolisian di Indonesia?
Dari perspektif hukum pidana, penggunaan kekuatan mematikan (lethal force) hanya dibenarkan dalam keadaan pembelaan terpaksa (noodweer), sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
“Barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri atau orang lain… karena adanya serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat dan melawan hukum, tidak dipidana.”
Ini berarti penggunaan senjata api harus diarahkan untuk menghentikan ancaman nyata, langsung, dan membahayakan nyawa. Tindakan ini juga tidak boleh berlebihan dan harus bersifat proporsional.
Lebih lanjut, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian menetapkan bahwa penggunaan kekuatan dilakukan secara bertahap, mulai dari kehadiran fisik, perintah lisan, hingga penggunaan senjata api sebagai “last resort”. Pasal 5 ayat (1) Perkap ini menyebutkan:
“Setiap penggunaan kekuatan oleh anggota Polri harus memenuhi prinsip legalitas, nesesitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas.”
Jika pelaku adalah anak di bawah umur, negara terikat oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), yang mengatur bahwa setiap penanganan anak yang berhadapan dengan hukum harus mengutamakan pendekatan keadilan restoratif dan diversi. Pasal 3 UU SPPA menegaskan:
“Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan prinsip perlindungan, keadilan non-diskriminatif, kepentingan terbaik bagi anak, penghormatan terhadap pendapat anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, serta keadilan restoratif.”
Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, yang mengikat negara untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak, termasuk dalam proses penegakan hukum.
Dari perspektif hak asasi manusia, tindakan “tembak di tempat” tanpa melalui prosedur yang sah dapat melanggar hak untuk hidup yang dijamin dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyebutkan:
“Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.”
Lebih jauh, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menegaskan bahwa Polri dalam menjalankan tugasnya harus menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia (Pasal 13, Pasal 14, Pasal 18).
Dari sisi etika profesi, Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia mengatur bahwa setiap anggota Polri wajib:
-Menghormati hak asasi manusia.
-Tidak melakukan penyalahgunaan wewenang.
-Menjaga citra, kehormatan, dan martabat Polri.
Jika pernyataan “tembak di tempat” dimaksudkan sebagai bentuk deterrent (pencegah) bagi pelaku kejahatan, tetap saja pernyataan tersebut harus disampaikan dalam kerangka hukum yang berlaku. Instruksi yang keluar dari jalur hukum berisiko membuka ruang tindakan sewenang-wenang oleh aparat di lapangan.
Hak untuk hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Prinsip ini tercantum pula dalam Pasal 6 ayat (1) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.
Penegakan hukum yang tegas memang diperlukan untuk menghadapi kejahatan jalanan yang mengancam keselamatan publik. Namun, ketegasan tidak boleh mengabaikan prinsip hukum, prosedur operasional, dan hak asasi manusia. Negara hukum hanya dapat ditegakkan dengan hukum itu sendiri, bukan dengan pelanggaran hukum.
Jika aparat kepolisian menghadapi ancaman nyata yang membahayakan keselamatan jiwa, penggunaan senjata api memang diperbolehkan untuk melumpuhkan pelaku sesuai prosedur. Namun, jika tidak terdapat ancaman langsung terhadap nyawa, perintah “tembak di tempat” dapat melanggar ketentuan hukum pidana, hukum perlindungan anak, hukum administrasi kepolisian, dan hak asasi manusia.
Dalam konteks ini, perlu ada klarifikasi dari pejabat terkait serta penguatan komitmen institusi kepolisian terhadap prosedur penggunaan kekuatan secara sah dan akuntabel. Penegakan hukum yang humanis, profesional, dan menghormati hak asasi manusia adalah fondasi kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian.
Penulis :Irham Tompo
(Editor Redaksi)