METROINFONEWS.COM | Makassar – Kasus pengosongan (upaya paksa) eksekusi oleh PT. Sulsel Citra Indonesia (Perseroda) Sulawesi Selatan yang mendapat pengawalan serta pengamanan oleh Polres Pinrang dan Polsek Paleteang terhadap korban Ma’ruf Mansyur yang telah menempati (mendiami) dan menguasai tanah dan bangunan selama kurang lebih 22 tahun Pada hari Rabu tanggal 11 September 2024 di Kel. Pacongang, Kec. Paleteang, Kab. Pinrang.
Berbuntut Tim Kuasa Hukum/Pendamping Korban pengosongan (upaya paksa) eksekusi Dr. Marif, S.H.,M.H.,C.Med., bersama Muh Al Kadri Zamar, S.H, dan Fajrin Masrullah, S.H. telah mengambil langkah dan upaya hukum dengan mengadukan dan melaporkan tindakan pengosongan (upaya paksa) eksekusi tanah dan bangunan, di Ombudsman RI Perwakilan Sulawesi Selatan pada hari Jumat,13 September 2024.
Lanjut Dr. Marif melaporkan hal tersebut di Propam Polda Sulawesi Selatan pada hari Selasa, 17 September 2024, dan Irwasda Polda Sulawesi Selatan pada hari Jumat, 20 September 2024, Serta melaporkan pihak-pihak yang melakukan pembongkaran secara paksa sebagai tindak pidana pengrusakan sebagaimana dalam Pasal 170 KUHP, ke Polres Pinrang pada hari Senin 16 September 2024. Karena pembongkaran (upaya paksa) eksekusi tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat yaitu tanpa didahului Putusan Pengadilan dan tidak ada perintah eksekusi dari Pengadilan.
Hal ini jelas menyalahi Standar Operasional Prosedur Pengamanan (SOP PAM) dan dalam pelaksanaan penertiban, Pengosongan (upaya paksa)/eksekusi, serta melanggar hak asasi manusia (HAM), dengan tidak memperhatikan hak warga Penyandang Disabilitas (Berkebutuhan Khusus) yang tinggal bersama orang tuanya menjadi korban pengosongan (upaya paksa) oleh PT. SulSel Citra Indonesia Perseroda Sulawesi Selatan (PT. SCI Perseroda SulSel).
Sertipikat yang dimaksud tersebut berdasarkan hasil pengecekan di OMBUDSMAN RI Perwakilan SulSel pada hari Jumat tgl. 13 September 2024 melalui Aplikasi Sistem milik Badan Pertanahan Nasional (BPN) ternyata nomor dan data persil Sertipikat tersebut tidak ditemukan (tidak ada).
Meskipun ditantang dan ditolak keras oleh Korban dan Masyarakat sekitar, tetapi tim dari PT.SCI Perseroda SulSel tetap melakukan pengosongan (upaya paksa)/eksekusi, meski tidak didukung dengan dasar bukti asli dan sah serta tidak ada putusan dan perintah eksekusi dari pengadilan, sehingga terkesan pemaksaan, melanggar hak asasi manusia (HAM) dengan tidak mempedulikan hak korban yang memiliki 4 orang anak yang tinggal bersama di lokasi tersebut, dimana salah satu anak Korban adalah penyandang disabilitas (anak Berkebutuhan khusus). Tindakan tersebut telah melanggar hak-hak
Penyandang Disabilitas (Berkebutuhan Khusus) yang seharusnya mendapatkan perlindungan dan perlakuan khusus menurut ketentuan perundang-undangan dan Hak Asasi Manusia. Kami akan melaporkan dan mengadukan peristiwa tersebut ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM RI) di Jakarta.(ungkap Dr.Marif, kuasa hukum/pendamping Korban).
Terhadap Abd. Hamid Sijaya alias HAMSI yang mengaku sebagai ASN dari Badan Keuangan dan Aset Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, menyatakan bahwa pengosongan ini atas perintah Gubernur dan akan melakukan eksekusi, namun saat di minta Surat Tugas dan Surat Perintah yang dimaksud, tidak mampu menunjukkan dan memperlihatkan (tidak ada). Sehingga patut diduga oknum ASN tersebut menyalahi prosedur serta kewajiban hukum sebagai ASN yang bertugas di lapangan.
Menurut korban Ma’ruf Mansyur, bahwa sekitar sebulan sebelum peristiwa pengosongan, saudara Abd Hamid Sijaya alias HAMSI juga pernah mendatangi Korban di lokasi dan menunjukkan Surat Tugas Yang tidak memiliki nomor registrasi dan tidak ditanda tangani oleh pimpinannya serta Surat Tugas tersebut berbeda lokasi tempat tujuan dan berbeda daerah, dimana tujuan yang tercantum didalam Surat Tugas tersebut menunjukkan daerah tujuan Kab. Toraja, padahal lokasi yang didatangi adalah di Kelurahan Pacongang, Kecamatan Paleteang, Kab. Pinrang dan surat tersebut tidak ditanda tangani oleh atasan yang bersangkutan (tanda tangan kosong).
Hal ini patut diduga telah menyalahi ketentuan dan menyalahgunakan kewenangan, serta diduga keras melakukan tindakan maladministrasi sebagai ASN. Upaya kami tidak hanya sampai di OMBUDSMAN RI saja, tetapi kami akan menempuh berbagai upaya hukum untuk memberikan jaminan perlindungan hak-hak Korban beserta anak-anaknya terutama anak Penyandang Disabilitas. Langkah yang dimaksud adalah melaporkan dan mengadukan ke KOMNAS HAM RI.
Selain itu bila ada oknum aparat Kepolisian Polres Pinrang dan Polsek Paleteang yang melanggar Standar Operasional Prosedur Pengamanan (SOP PAM), menyalahi Profesionalisme dan melanggar UU Kepolisian RI terkait pengamanan yang dilakukan dalam rangka penertiban/pengosongan (upaya paksa) kami tidak segan-segan telah melaporkan/mengadukan oknum tersebut ke Bidang Propam Polda SulSel dan Irwasda Polda SulSel. Ujar Ketua Tim Hukum/Pendampingan Korban ; Dr. Marif,S.H.,M.H.,C.Med. yang juga Tim Advokasi LLDIKTI Wil. IX Sultanbatara dan Wakil Ketua Umum Perkumpulan Kampus Bantuan Hukum (PKBH).
Lebih lanjut Dr. Marif mengatakan bahwa terkait penertiban/pengosongan (upaya paksa) atau eksekusi tanah dan bangunan seharusnya didahului dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan ada Perintah eksekusi dari Pengadilan. Mengingat tanah dan bangunan tersebut telah ditempati, didiami dan dikuasai oleh Korban bersama keluarganya selama kurang lebih 22 tahun (waktu yang cukup
lama). Kalau alasan penertiban seharusnya ada koordinasi dengan Pemerintah Daerah setempat,khususnya Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dengan mengedepankan dan mengutamakan petugas Satpol PP di lapangan dalam pengamanan dan penertiban, bukan mengedepankan aparat Kepolisian dari Polres Pinrang dan Polsek Paleteang, sebagaimana di lokasi pengosongan (upaya paksa) jumlah personil anggota kepolisian kurang lebih 30 orang personil dan dipimpin oleh Kapolsek Paleteang dan Kasat Sabhara Polres Pinrang) tanpa seorangpun dari Satpol PP, sehingga pengosongan (upaya paksa)/eksekusi itu di pandang menyalahi standar operasional prosedur pengamanan (SOP PAM), dan paling parahnya pengosongan (upaya paksa)/eksekusi oleh PT. SCI Perseroda SulSel yang dikawal oleh aparat Kepolisian dari Polres dan PoIsek terus berlangsung tanpa didukung Sertipikat asli dan sah,tidak mampu menunjukkan dan memperlihatkan Surat resmi dari Pemerintah Provinsi.
Mirisnya aparat hukum datang bersama rombongan PT. SCI Perseroda SulSel, sehingga membuat suasana dan situasi mencekam, korban dan masyarakat yang mendukung korban untuk bertahan, merasa terintimidasi dan seakan-akan Kepolisian yang melakukan pengamanan berpihak dan melakukan pembiaran pengosongan (upaya paksa) eksekusi tanpa didukung surat dokumen asli dan sah.
Lebih parahnya pengosongan (upaya paksa) dan eksekusi tersebut tidak memiliki Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan tidak ada Perintah eksekusi dari Pengadilan ujar Fajrin Masrullah, S.H saat berada di Polda Sulsel. Sehingga kehadiran pihak Kepolisian dari Polres Pinrang dan Polsek Paleteang diduga ada keberpihakan, padahal ini ranah perdata, belum ada kejelasan siapa sebenarnya yang berhak atas lokasi, tanah dan bangunan tersebut, sehingga kehadiran pihak Kepolisian dalam pengamanan pengosongan dan eksekusi diduga melanggar Standar Operasional Pengamanan (SOP PAM) yang berujung Tim Hukum/pendamping Korban telah melaporkan dan mengadukan ke Propam Polda SulSel.
Buntut pengosongan (upaya paksa) eksekusi tersebut,Tim Hukum/Pendamping korban juga telah melaporkan tindak pidana pengrusakan sebagaimana dalam Pasal 170 KUHP di Polres Pinrang, ujar Ketua Tim Hukum/Pendamping korban yaitu Dr. Marif. Jelasnya.
Editor : Sandi Pajri, S.H.,M.H